Iman Herdiana
Sumber: okezone.com, Jum'at, 04 November 2011 17:03 wib
BANDUNG - Model rumah pengelolaan sampah (RPS) Institut Teknologi Bandung (ITB) bisa ditiru secara komunal. Tiap 1.000 kepala keluarga di Bandung, bisa membuat model pengelolaan sampah secara mandiri tersebut. Pengelolaan sampah secara mandiri ini artinya tidak tergantung kepada dinas kebersihan kota. Dari sampah juga bisa dihasilkan barang-barang daur ulang dan pupuk organik yang bisa dijual. Maka, RPS ITB yang sudah berjalan selama lima tahun kini bisa mandiri, bahkan mampu menyerap tenaga kerja.
Ahmad (41), salah seorang pegawai RPS ITB, mengaku digaji Rp1,1 juta per bulan dengan waktu kerja enam hari dalam satu minggu. Dia bertugas sebagai tenaga pembakar sampah yang tidak dapat didaur ulang seperti berbagai jenis kantung plastik.
"Setiap hari, saya bisa membakar sekira 100 kg sampah plastik," ujar pria asal Gang Siliwangi, Jalan Siliwangi, Bandung itu, Jumat (4/11/2011).
Sebagai penghasilan tambahan, pria yang telah bekerja selama dua tahun tersebut bisa mengumpulkan sampah yang bisa didaur ulang berupa kardus, duplek, plastik bekas minuman, botol, dan lain-lain. "Sehari bisa mendapat 40 kg lebih. Ya kalau dijual lumayan hasilnya," kata Ahmad.
RPS ITB didirikan pada 2007 pasca longsornya TPA Leuwi Gajah. Pendiri RPS adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hayati (SITH) ITB, Nyoman P Aryanta.
Di samping menghasilkan kompos, daur ulang sampah, energi panas pembakaran sampah juga digunakan perusahaan Rumah Jamur untuk membudidayakan berbagai jenis jamur yang bisa dikonsumsi untuk makanan dan obat.
Sementara Ainur Rofiq, asisten Nyoman P Aryanta, menyebutkan, hingga kini tercatat 11 orang pegawai yang bekerja di RPS. "Model RPS ITB bisa dibuat oleh tiap 1.000 KK di Bandung. Pengelolaannya bisa mandiri lewat budidaya jamur, daur ulang, dan kompos. Belum lagi jIka ada retribusi dari pihak yang ikut membuang sampah ke RPS," papar Ainur.
RPS ITB berkapasitas satu persen dari total sampah yang ada di Kota Bandung yang per harinya mencapai 200 meter kubik. RPS merupakan prototipe pengelolaan sampah bukan mengandalkan TPA.
"Memang yang menjadi kontroversi karena ada di inseneratornya. Tapi sebernarnya pembakaran sampah biasa lebih bahaya daripada pakai insenerator," ujarnya.
Insenerator tersebut dibuat dosen kimia ITB Adi Darmawan dengan kapasitas 100 kg per jam. Biaya pengelolaan sampah RPS jika dihitung-hitung mencapai Rp30 ribu untuk mengolah sampah organik permeterkubik dan Rp30 ribu untuk sampah bukan organik. Biaya tersebut meliputi BBM, gaji karyawan, dan komponen lainnya.
Sedangkan kompos yang dihasilkan lebih sehat karena hasil permentasi mikroba perkomposn bukan ekoli seperti di TPA umumnya. Mikroba dikembangkan oleh labolatorium Sekolah Tinggi Ilmu Hayati (SITH) ITB. "Sehingga sampah organik di sini tidak menimbulkan bau," kata alumni biologi ITB angkatan 2000 ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar