Sampai saat ini, praktik pengelolaan sampah di Indonesia hanya meliputi tiga kegiatan; pengumpulan, pengangkutan, dan membuangnya ke tempat penampungan akhir (TPA).
Di TPA, sampah juga dibuang dan ditumpuk begitu saja tanpa perlakuan apapun, istilah ini dikenal dengan open dumping (dibuang di tempat terbuka).
Menurut laporan Kementerian Negara LH tahun 2008 berjudul Kontribusi Sampah terhadap Pemanasan Global, akibat praktik open dumping yang hampir ditemukan di semua TPA di Indonesia tersebut, sampah yang menumpuk adalah salah satu penyumbang gas rumah kaca utama dalam bentuk metan (CH4) dan karbondioksida (CO2). Bahkan gas metan, disebutkan, berkontribusi 15 persen terhadap efek rumah kaca, efeknya 20-30 kali lipat dibandingkan dengan gas CO2.
Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Jika jumlah emisi gas rumah kaca meningkat diatmosfir, bumi juga akan semakin panas. Selama lima tahun terakhir. seperti dilaporkan Kemeneg LH, pemanasan global disebabkan oleh kegiatan manusia, termasuk karena memperlakukan sampah dengan salah.
Gas metan terbentuk akibat dari proses dekomposisi anaerob sampah organic. Masih dalam laporan Kemeneg LH 2008, diperkirakan, 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metan. Jika pada tahun 2002 sampah yang dihasilkan sekitar 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun, maka pada tahun tersebut Indonesia menghasilkan emisi gas metan sebesar 9500 ton.Namun, semenjak kelahiran UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, paradigma pengelolaan sampah diharap berubah secara total.
Semangat utama dari UU ini adalah secara revolusioner mengubah paradigma pengelolaan sampah dari end of pipe (pengolahan sampah di akhir kegiatan) menjadi reduce at sources and resources recycle (mengurangi kemungkinan timbulan sampah sejak awal dan membuat produk yang bisa digunakan kembali).
Dengan paradigma baru tersebut, pengelolaan sampah harus bertumpu pada, pertama, pembatasan (timbulan) sampah sejak dari sumbernya karena jika tidak terkelola baik, sampah berpotensi menjadi polutan yang membahayakan lingkungan dan manusia. Kedua, pemanfaatan sampah sebagai sumber daya atau sumber energi sehingga dapat mendatangkan manfaat yang lebih banyak.
Pada cara pandang yang baru, sampah adalah sumberdaya, bukan sampah makna harfiah yang harus disingkirkan dari pandangan mata karena sudah tidak berguna lagi.
Peraturan baru ini mengutamakan prinsip pengendalian pencemaran dengan melakukan upaya; sampah menjadi berkah dengan salah satu caranya adalah mengkonversi sampah ke dalam bentuk lain; menjadi sumber energy seperti gas dan listrik.
Salah satu contoh adalah apa yang tengah dilakukan Pemerintah Kota Bekasi dan Provinsi DKI bekerja sama dengan dua perusahaan swasta. Di lokasi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Jawa Barat, sampah tidak saja berubah menjadi gas dan listrik, tapi juga diolah menjadi kompos. Ini peluang besar mengingat komposisi sampah organik di Jakarta dan di kota-kota lainnya adalah 55 persen lebih.
Selanjutnya, Undang-undang Pengelolaan Sampah juga mengenalkan perpanjangan penggunaan sumberdaya alam dengan konsep 3 R (Reduce, Re-use, Recycle); pengelolaan akhir ramah lingkungan dengan sanitary landfill; dan memperluas tanggung jawab perusahaan atau Extended Producers Responsibility (EPR). EPR ini kemudian merupakan salah satu poin penting dalam Undang-undang Pengelolaan Sampah.
Disebutkan, setiap produsen harus mencantumkan label pengurangan dan penanganan sampah dan mengelola kemasan dan atau barangnya.
EPR adalah istilah dan konsep baru yang diperkenalkan kepada dunia industri selaku produsen berbagai produk penghasil sampah. Contoh mudah ditemukan dalam kasus ini adalah industri makanan seperti, mie instan, permen,biskuit, air mineral; dan industri pembersih seperti deterjen, pembersih lantai, pencuci piring, dan sebagainya. Sebagai ilustrasi, mie instan dari satu merek yang cukup terkenal di Indonesia menyumbangkan sampah kemasannya paling tidak 11 miliar bungkus lebih per tahun.
Jika dilihat sekilas, sampah-sampah tersebut merupakan sampah plastik yang memerlukan puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai dan kembali ke alam. Bahkan disebutkan, untuk Jakarta saja 1.000 ton sampah plastik diproduksi setiap hari. Ini belum lagi sampah industri elektronik seperti HP, komputer, DVD/VCD, dan sebagainya.
Awalnya, prinsip-prinsip EPR diperkenalkan pada pertemuan World Summit Sustainable Development pada 2002 di Johannesburg. Walaupun tidak menyebut istilah EPR, pertemuan tersebut merekomendasikan upaya sustainable production and consumption (produksi dan konsumsi yang berkelanjutan).
Selanjutnya barulah berdasarkan kesepakatan pada pertemuan Negara G-8 tahun 2003 hingga 2005, EPR yang temasuk dalam komponen 3R (reduce, reuse, recycle) dirumuskan. Pertemuan 3R selanjutnya yang dilaksanakan di Tokyo pada 2005 dan 2006 membahas lebih spesifik tentang EPR. Begitu juga konfrensi 3R se Asia Timur dan ASEAN di Manila pada Februari 2006.
Konsep dan Mengapa EPR
Prinsip utama pemberlakuan EPR dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah adanya pembagian peran dan tanggung jawab yang fair antara pemerintah dan pelaku usaha dalam pengelolaan sampah.
Sementara menurut Organisation for Economic Cooperpation and Development (OECD), sebuah organisasi internasional yang concern membantu pemerintah pada bidang ekonomi, sosial dan tantangan dalam mengelola ekonomi global, EPR merupakan suatu pendekatan kebijakan lingkungan dimana tanggung jawab produsen pada sebuah mata rantai produksi—secara fisik dan financial—diperluas hingga pada tahap post-consumer.
EPR dimaksud pertama, mengurangi jumlah material yang masuk ke landfill dengan mempromosikan upaya 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Kedua, menyediakan insentif bagi produsen yang mempertimbangkan keselamatan lingkungan pada proses mendisain sebuah produk dan memilih bahan baku.
Dengan kebijakan EPR ini, mau tidak mau, produsen akan melakukan inovasi-inovasi terbaru pada produk dan kemasannya dengan mempertimbangkan beberapa aspek lingkungan. Ini akan menurunkan dampak lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan industri. Produsen yang dimaksud dalam EPR adalah brand owner atau pemilik merek, dan importer. Selain itu, distributor, retailer, dan konsumen turut terlibat sebatas tanggung jawab yang bisa mereka lakukan.
Lebih rinci disebutkan dalam poin-poin penting EPR yang disusun Kemeneg LH, EPR adalah strategi yang didisain dalam upaya mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan ke dalam seluruh proses produksi suatu barang sampai produk itu tidak dapat dipakai lagi (life cycle produk tersebut) sehingga biaya-biaya lingkungan menjadi bagian dari komponen harga pasar produk tersebut.
Dengan strategi EPR tersebut, para produsen harus bertanggungjawab terhadap seluruh life cycle produk dan/atau kemasan dari produk yang mereka hasilkan. Ini artinya, perusahaan yang menjual dan/atau mengimpor produk dan kemasan yang potensi menghasilkan sampah wajib bertanggungjawab, baik secara financial maupun fisik, terhadap produk dan/atau kemasan yang masa pakainya telah usai.
Jadi, EPR memindahkan sebagian tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan sampah kepada pelaku usaha, dimana mengharuskan produsen, impotir, dan/atau penjual memasukkan biaya pengelolaan sampah ke dalam harga produk mereka.
Keuntungan EPR
Keuntungan pelaksanaan EPR tidak saja dilihat dari sisi pemerintah saja sebagai penanggungjawab pengelolaan sampah. EPR ternyata memberikan banyak keuntungan pada pelaku industri dalam hal penghematan bahan baku dan energy yang dipakai, belum lagi bila terkait dengan imej baik perusahaan. Beberapa keuntungan yang dicatat OECD adalah EPR akan:
1. Mengurangi beban landfill dan incinerator dan dampak dari kegiatan keduanya (landfill dan incinerator) terhadap lingkungan.
2. Mengurangi beban pemerintah secara fisik dan financial dalam pengelola sampah.
3. Mendorong upaya daur ulang dan penggunaan kembali produk atau elemen dari sebuah produk.
4. Mempermudah dan mempersingkat proses pembongkaran produk (elektronik) yang akan didaur ulang atau yang akan di-reuse (digunakan kembali).
5. Mempromosikan clean product (produk bersih) atau green products (produk hijau).
6. Mempromosi penggunaan sumberdaya alam yang lebih efisien.
7. Meningkatkan hubungan antara masyarakat pemakai dengan industri pembuat produk.
8. Mendorong efisiensi dan persaingan pada proses manufaktur yakni, proses merubah bahan baku menjadi produk.
9. Mempromosikan pengelolaan lingkungan terpadu dengan penekanan pada siklus daur hidup produk.
10. Meningkatkan pengelolaan material atau bahan baku.
EPR dan Pelaksanaannya
Dalam implementasinya, EPR bisa dilakukan dengan tiga cara. Cara pertama adalah dengan melakukan evaluasi dan manajemen ulang pada proses produksi. Cara ini bisa dilakukan dengan mengevaluasi bahan baku produk dan kemasan dan menukarnya dengan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan, seperti kemasan bioplastik.
Cara ini biasanya menggunakan berbagai analisis seperti Life Cycle Analysis (LCA), LCA bisa membantu meningkatkan penerimaan program dan optimasi sebuah produk lingkungan. Cara kedua adalah dengan melakukan penarikan kembali produk dan/atau kemasan yang habis masa pakainya dan dikelola melalui cara reuse dan recycle, atau dimanfaatkan sebagai sumber energy. Seluruh mekanisme ini dapat dilaksanakan sendiri oleh produsen/perusahaan.
Di beberapa negara maju seperti Belanda dan negara eropa lainnya, produsen minuman jenis soft drink seperti cocacola, sprite, fanta dan sejenisnya, menyediakan sebuah mesin penerima botol bekas yang dihargai 25 cent per botol dalam bentuk voucher belanja. Mesin-mesin ini biasanya ditempatkan di satu kawasan perbelanjaan, sehingga memudahkan konsumen untuk menggunakan vouchernya pada saat berbelanja.
Seperti baru-baru ini, di Jakarta, produsen HP ternama membuka counter khusus dan menerima telepon selular bermerk tersebut yang tidak dipakai lagi oleh konsumennya. Sebagai insentive, konsumen diberi satu batang pohon untuk ditanam.
Begitu juga beberapa perusahaan elektronik di Jepang menerima kembali produknya dan atau beberapa komponen produknya yang tidak terpakai yang selanjutnya akan didaur-ulang oleh perusahaan bersangkutan. Konsep ini kemudian dikenal dengan sebutan take back. Bahkan di Jerman sejak 1991, konsep take back telah diundangkan dan diberlakukan untuk berbagai jenis peralatan elektronik rumah tangga, baterai, computer, ban, mobil, hingga oli bekas.
Cara ketiga adalah, dengan mendelegasikan tanggung jawab tersebut ke pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut dibayar untuk mengumpulkan dan mengelola produk dan/atau kemasan mereka. Praktik ini telah banyak dilakukan di negara-negara maju, biasanya ini berupa bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti baterai, perlengkapan pertanian, dan industri kimia.
Namun begitu, pelaksanaan EPR memerlukan mekanisme yang jelas. Karena dari sisi produsen, penerapan EPR ini menjalani rantai perjalanan yang sangat panjang, sejak dari produsen (pabrik) sampai ke konsumen dan kembali lagi ke produsen. Selama perjalanan panjang tersebut banyak tahapan yang kemungkinan sulit dikendalikan.
Oleh karena itu diperlukan aturan main yang jelas bagaimana produsen benar-benar melakukan kewajibannya. Implikasi penting dari penerapan EPR adalah kemungkinan timbulnya beban yang harus ditanggung oleh konsumen terkait dengan kenaikan harga dari produk dan/atau kemasan yang dihasilkan. Jadi, penerapan EPR dalam jangka waktu tertentu dapat meningkatkan inflasi, demikian disebutkan dalam uraian KemenegLH mengenai poin-poin penting EPR.
1. Menyediakan insentive bagi produsen yang hendak merubah desain produknya untuk memenuhi standar eco-produk.
2. Kebijakan EPR sebaiknya menstimulasi kegiatan-kegiatan inovasi yang berfokus pada hasil akhir, dan menyerahkan implementasinya kepada produsen.
3. Dilakukan dengan pendekatan Life Cycle (Life Cycle Approach) untuk mencegah dampak lingkungan yang lebih besar atau mentransfer dampaknya dalam bentuk lain dalam mata rantai produk.
4. Tanggung jawab yang jelas dan tidak melemahkan antar stakeholder terkait pada mata rantai produk.
5. Mempertimbangkan karakteristik dan sifat unik dari produk. Kategori produk atau aliran limbah harus menjadi faktor dalam merancang kebijakan. Mengingat keragaman produk dan karakteristik yang berbeda, satu jenis program atau ukuran tidak berlaku untuk semua produk, kategori produk atau aliran limbahnya.
6. Pemilihan instrumen-instrument kebijakan harus lebih fleksible dan melihat kasus per kasus, tidak menyamakan kebijakan untuk semua jenis produk.
7. Membangun komunikasi yang baik dengan stakeholder pada mata rantai produk.
8. Sebuah strategi komunikasi harus disusun untuk menginformasikan semua aktor dalam rantai produk, termasuk konsumen, tentang program EPR untuk mendapatkan dorongan dan kerjasama.
9. Untuk meningkatkan efektifitas dan penerimaan program, konsultasi stakeholder sebaiknya dilakukan untuk membicarakan target, tujuan, biaya dan keuntungan financial.
10. Konsultasi dengan pemerintah lokal untuk memperjelas peran mereka dan mendapatkan masukan tentang operasional program.
11. Pendekatan sukarela maupun wajib harus dipertimbangkan agar maksud, tujuan dan prioritas (penyelamatan) lingkungan nasional dapat terpenuhi.
12. Melakukan analisis yang komprehensif mengenai EPR program. Seperti, menentukan jenis, kategori produk dan aliran limbah yang cocok untuk EPR, apakah sejarah produksi dan peran setiap stakeholder dalam mata rantai produksi akan dimasukkan dalam EPR program.
13. Ada evaluasi secara berkala untuk meyakinkan apakah semua aspek telah berjalan sesuai fungsinya dan cukup fleksibel untuk merespon setiap hasil evaluasi.
14. Program harus didisain dan diimplementasikan dimana keuntungan lingkungan bisa dijangkau dan dislokasi ekonomi bisa dihindari secara bersamaan.
15. Proses pengembangan dan implementasi kebijakan dan program EPR harus transparan.
Padahal beberapa negara telah mengeluarkan peraturan untuk tidak menerima dan mengkespor sampah B3. Poin ini menjadi catatan penting pada pertemuan EPR di Manila 2006 yang menyebutkan, bahwa sejumlah masalah akan timbul antar negara produsen dan negara pengguna dalam mengatur lalu lintas pengiriman barang-barang take-back tadi. Maka itu perlu juga sebuah rancangan peraturan yang fleksibel untuk mengatur hal itu. ****
REFERENSI:
MenLH, 2008. Sosialisasi Extended Responsibility (EPR) Undang-undang No 18/2000 tentang Pengelolaan Sampah. Kementerian Lingkungan Hidup.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2008. Kontribusi Sampah terhadap Pemanasan Global. Deputi Menteri Bidang Pengendalian Lingkungan, Jakarta Timur.
Kementerian Negara LH. Poin-poin penting Extended Producer Responsibility (EPR).
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), 2001. Extended Producer Responsibility A Guidance Manual for Governments. OEDC Publications Service, France.
Sumber: http://www.riaupos.com/new/berita.php?act=full&id=1928&kat=11
I was a young researcher in biomass technology. And I've been using biomass combustion technologies in the industry in Indonesia. Our technology is very effective, very low cost, very low smoke, low power, very easy operation, very easy maintenance, and capable of producing heat up to 1400 Celsius. We need your support to campaign for this technology to the world. that we are able to produce the maximum enertgi renewable and very stable.
BalasHapusfor further information please contact us at:
dananekocahyono@yahoo.com.sg
Santosorising.blogspot.com
0857.360.180.37